Malam semakin larut, perasaan dalam diriku terasa kalut. Esok, adalah hari yang sejujurnya tak ingin kujumpai, atau ralat jika bisa ditunda barang sehari. Aku terus bertanya pada diriku sendiri, sebetulnya ada apa dengan Jogja? Mengapa begitu erat sekali kau mendambakannya? Entahlah, berulang kali kucari jawaban atas pertanyaan itu, bukannya mendapatkan aku justru semakin tersesat. Malam itu, tentu dengan perasaan senang aku dan sepupuku kembali mengulas perjalanan kami hari ini, yang mana begitu banyak mengeluarkan energi tetapi bergitu memberi arti. Sesaat setelah ditinggal sepupuku lebih dulu membersihkan diri, aku kembali merebahkan tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit kamar yang esok hari harus kutinggalkan, lampunya begitu terang, seterang keinginanku untuk berjanji aku pasti kembali lagi, kesini, ke Jogja. jangan ditiru ya, model rebahan seperti ini:( Pagi itu—tepatnya pukul 10.00, aku dan sepuppuku yang baru saja terbangun hanya menatap langit-langit kamar penginapan...
Yogyakarta. Kota yang terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan kata Joko Pinurbo. Aneh memang, tapi itu benar adanya. Aku contoh nyata yang merasakannya. Mantra apa, entah yang istimewa seperti penggalan lagu Adhitia Sofyan tersebut, Jogja memang selalu memiliki mantra yang istimewa, untukku khususnya. Jogja bukan hanya memintaku untukku singgah, tapi selalu memberiku celah untuk pulang bahkan menetap di dalamnya. Tahun lalu, Februari 2019 lebih tepatnya. Ditengah rasa kehilangan seorang teman baik untuk selama-lamanya, Allah SWT mengizinkanku mewujudkan salah satu mimpiku untuk bisa berkunjung ke kota Jogja untuk pertama kalinya! Iya, pertama kali! Meski aku asli dari suku jawa, tapi ke Jogja baru saat itu bisa kukunjungi. Kala itu, aku yang tengah merasakan kehilangan dibuat senang oleh takdir yang diberikan-Nya. Bermodalkan nekat dan tabungan seadanya, aku dan sepupuku berangkat. Berhubung sepupuku seorang karyawan swasta yang memiliki libur sabtu dan minggu, kami memutusk...