Langsung ke konten utama

#CERPEN, Jogja dan Kenangan serta Apa Arti Pulang



            Awan hitam berkumpul pada langit Jakarta dini hari. Aku berjalan menyusuri lorong Stasiun Pasar Senen menuju percetakan tiket boarding pass. Setelah drama yang panjang, akhirnya aku bisa mengambil cuti. Menjadi kacung di Jakarta sejatinya bukanlah sebuah impian tapi kini menjadi pilihan yang dijalankan.
            Persiapan keberangkatan Kereta Bengawan dengan tujuan akhir Stasiun Wonosari akan diberangkatkan pukul 06.00 WIB.
            Intruksi petugas membuatku bangkit dari kursi tunggu, ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku, pukul 05.40 artinya masih ada waktu 20 menit lagi sebelum keberangkatan. Aku memasuki Gate 3 menyerahkan tiket juga kartu identitas disusul mencari gerbong kereta 6 seat 3D, tepat disamping jendela. Spot favoritku.
            10 menit sebelum keberangkatan, ku rapatkan jaket yang ku kenakan, mengambil headset juga ponsel, serta satu novel yang baru ku beli 2 hari lalu di Pasar Kenari. Ku buka ponsel tersebut dan melihat notifikasi yang masuk, kebanyakan dari Aplikasi Whatsapp. Ada 2 pesan dari Ibu dan 2 pesan dari Kayana.
Ibu: Nak, sudah berangkat belum?
Ibu: Jangan lupa sarapan sama minum tolak angin ya.
            Me: Iya Bu, ini baru saja masuk keretaJ
Ibu: Ya sudah, hati-hati ya, kabari Ibu kalau sudah sampai.
            Me: Oke Ibu. I love you:*
Ibu: Read.

Ya begitulah Ibu, meski cuek tapi sebetulnya perhatian dan sangat sayang terhadap putri semata wayangnya ini. Lalu selanjutnya ku buka pesan dari teman kantor juga teman bandel saat zaman SMP dulu. Kayana Kamaniya.

Kayana: Jodohku tolong bawa pulang ya Dri
Kayana: Oleh-olehku itu saja cukup kok:D
            Me: Bawa Bakpia saja aku malas, apalagi harus cari siapa jodohmu itu Kay_-

Tak sampai 1 menit, balasan Kayana langsung muncul.
Kayana: Ya sudah bawakan aku gudeg buatan Ibumu saja deh ya.
            Me: wani piro? Hahaha.
Kayana: -___-

Ku tutup aplikasi chat tersebut, lalu mengambil Novel dan mulai hanyut dalam ceritanya. Pelan tapi pasti, suara gesekan rel mulai terdengar di telingaku, pertanda kereta mulai melaju menuju kota rindu, Yogyakarta.
Setelah menempuh waktu kurang lebih 8 jam, akhirnya aku kembali menapaki Stasiun Lempuyangan. Rasa rindu yang sudah membubung kini nyaris meledak, ku ambil ponsel dari saku jaket, ada 3 pesan masuk melalui Whatsapp.

Ibu: Sudah sampai belum Dri?
Aku tersenyum membacanya, Ibu memang selalu seperti itu.
           
Me: Baru sampai Lempuyangan Bu, Bapak sudah pulang?
           
            2 pesan lain masuk dari Ganendra Pramadana— spesies manusia menyebalkan yang sudah hadir di hidupku sejak aku lahir ke dunia ini. Iya, aku terlahir 10 hari lebih dulu darinya. Tetangga sebelah yang sejak 3 tahun lalu harus pindah ke Bantul, sekaligus sahabat yang saat ini bekerja sebagai karyawan IT di salah satu perusahaan yang ada di daerah Yogyakarta.

G. Pramadana: Dri, perkiraan sampai jam berapa?
G. Pramadana: Sepertinya aku tidak bisa jemput, baru selesai meetingL Nggak papa kan?

Pesan pertama masuk 3 jam yang lalu, dan pesan yang kedua masuk 1 jam yang lalu. Aku memang memiliki kebiasaan bisa dikatakan baik tapi bisa juga dikatakan buruk, entahlah kalian saja yang menilai. Kebiasaanku ketika berpergian kemana pun, ponsel benar-benar stand by di dalam tas atau saku, aku jarang sekali membukanya, kecuali ada panggilan masuk. Kenapa? Karena aku suka menikmati perjalanan, apalagi menaiki kereta, tidak boleh ada yang menganggu me time-ku.

Me: Iya nggak papa Pram, aku baru sampai Lempuyangan, ini mau order ojol. See you!
           
Baru akan memesan ojol, panggilan masuk muncul dari Ibu.
“Halo, Iya Bu?”
“Kamu dimana?”
“Masih di Lempuyangan Bu, ini mau pesan ojek online” ujarku sembari berjalan ke pinggiran Stasiun.
“Lho, Prama nggak jemput?”  tanya Ibu disertai suara bising yang ku yakini mixer.
“Baru selesai meeting katanya Bu”
“Hmm begitu, ya sudah Ibu tutup teleponnya, Kamu hati-hati”
“Iy—“
Bip.
Belum juga menjawab, sudah ditutup saja.
           
Usai ojol-ku sampai, aku langsung melesat menuju Jombor, Kabupaten Sleman. Sebelumnya aku meminta driver untuk memutar terlebih dahulu ke Malioboro, entah apa yang membuatku selalu merindukan tempat yang tak pernah sepi ini. Aku sempat berhenti di depan Jalan Dagen. Dan kulihat Pak Suwiryo tengah sibuk membuka lapak angkringannya.
“Mas, sebentar ya. Nanti ongkosnya saya tambahin kok” pamitku pada driver ojol yang ku tumpangi.
Aku berjalan menghampiri lapak Pak Suwiryo, sepertinya beliau tidak sadar ketika aku sudah menarik salah satu kursi dan duduk di depan gerobaknya.
Sugeng Sonten Pak” ucapku yang sukses membuat Pak Suwiryo sedikit kaget.
Walah,Mbak Dri. Beneran Mbak Dri tho iki?” jawabnya sembari menghampiriku, aku menyalaminya.
“Iya Pak, memangnya siapa lagi, hehehe”
“Mau apa? Mau apa? tak buatin” imbuh Pak Suwiryo kembali ke belakang gerobak dan hendak meracik sesuatu.
“Nanti malam saja Pak, saya baru sampai banget, ini mau pulang dulu.”
“Lho, serius lho ini, Bapak buatin es teh manis saja dulu ya”
Ndak usah Pak, beneran deh, ditungguin Mas ojek, nggak enak. Nanti malam saja saya kesini lagi” Tolakku sembari beranjak dan menunjuk driver ojol yang masih setia menungguku.
Walah, bener nih?” aku mengangguk mantap.
Yowis, beneran lho ya nanti malam kesini? Nanti Bapak buatkan apa pun yang Mbak Dri mau” imbuhnya sembari merapikan gelas-gelas, aku mengangguk mantap dan tertawa.
“Apa pun buatan Bapak memang selalu wenak, oleh sebab itu, setiap pulang, aku selalu mampir kesini, hehehe”
“Bisa aja Mbak Dri ini” kami tertawa bersamaan, dan aku langsung pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang, karena pasti Ibu akan meneleponku lagi, jika dalam setengah jam aku belum sampai rumah.
Setelah turun dan membayar ojol, aku tidak langsung masuk ke rumah, melainkan diam dan memperhatikan lingkungan sekitar. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, rumahku yang berwarna putih dengan dekorasi wayang kulit di dindingnya, serta pagar hitam setinggi dagu ku yang masih melengkapi rumah sederhana ini.
“Sudah mau magrib nggak baik anak gadis melamun di depan pagar” suara bariton Bapak membuyarkan lamunanku, beliau sudah rapi dengan sarung dan baju koko coklat lengkap dengan kopyah yang melekat di kepalanya.
Aku hanya nyengir, lalu membuka pagar, dibantu Bapak yang membawa koperku memasuki rumah. Aku langsung mencium punggung tangannya, disusul suara derap langkah yang ku yakini Ibu mulai mendekat ke arah kami.
“Pasti tadi muter-muter dulu ke Malioboro kan?” tebaknya sembari berjalan menghampiriku, lengkap dengan apron yang masih melekat di tubuhnya, juga percikan terigu yang menempel di pipi kanan dan dahinya. Aku dan Bapak beradu pandang menahan tawa.
“Orang tua tanya itu dijawab Drisana, bukannya mesam-mesem kaya gitu” dumel Ibu bersamaan denganku yang menyalaminya.
Lha wong Ibuk ini lho, sudah tau jawabannya kok ya masih tanya” Bapak bersuara sembari memasukkan Badut—burung perkutut kesayangannya ke Garasi. Ibu hanya mendengus tak memperpanjang, dan Bapak langsung berpamitan menuju Masjid.
Aku langsung melesat menuju dapur, lebih tepatnya membuka tudung saji, pasti brownies kesukaanku sudah rampung dibuat Ibu. Dan benar saja, tak tanggung-tanggung ada 5 loyang brownies yang menggugah selera masih mengepul di hadapanku. Aku mengambil pisau kue, hendak mengiris, namun…
“Kalau darimana-mana, apalagi habis berpergian jauh, itu ke kamar mandi dulu, cuci tangan, syukur langsung mandi” ujar Ibu sembari menutup kembali tudung saji.
Pupuslah keinginanku, apalagi jika Ibu sudah bersabda seperti itu,huft
Daripada ruwet, aku memilih menuruti perkataan Ibu, meski sejujurnya aku ingin sekali malahap langsung brownies-brownies itu. Aku memasuki kamarku yang berwarna biru. Meski kerap ditinggal, kamarku selalu bersih dan siap digunakan. Sejenak aku merebahkan diri, menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya kumandang adzan magrib memaksaku untuk segera mandi dan bersih-bersih diri.
            “Dri, bangun Dri. Brownies-nya aku habisin lho ini” samar-samar ku dengar suara yang tak asing di telingaku.
            Woahhh, wenak tenan. Buk aku habisin yaaaa? Dri ndak bangun-bangun. Nyammm!” mendengar brownies, aku yang semula ketiduran usai bersih-bersih, langsung bangun terduduk, mengerjap-ngerjap siapa seseorang yang tengah berdiri santai pada pintu kamarku, dengan sepiring berisi irisan brownies di tangan kirinya, juga sepotong brownies lainnya yang siap dilahapnya.
            “Aaam, wenak Buk” ujarnya sembari menelengkan kepala ke arah dapur.
            Begitu nyawaku terkumpul sepenuhnya, dan jelas melihat siapa yang tengah asyik memakan brownies-ku, aku langsung loncat dari ranjang untuk merebut brownies darinya.
            Whoa-whoa, bangun juga akhirnya dia Bu” ujarnya sembari mengangkat tinggi piring berisi brownies tersebut.
            “Siniin nggak?! Itu punyaku” kataku sembari berjinjit-jinjit. Bukannya memberikan, laki-laki itu justru terus-menerus meledekku.
            Nyammm, enakkkk”
            “Angga, balikin brownies-ku! Datang-datang kenapa nyebelin banget sih?!” gerutuku, yang akhirnya membuat ia menyerahkan piring brownies yang tersisa 2 potong.
            “Ihhh Angga! Kenapa disisain cuma 2?!” teriakku murka, dan laki-laki itu langsung berlari menghampiri Ibuku di ruang tengah dengan cengengesan.
Ibukkkkk, brownies-ku dihabisin Angga” aduku pada Ibu yang kini tengah serius menonton sinetron kesukaannya. Alih-alih membelaku, Ibu justru membela laki-laki ini.
“Bangun Drisana, laki-laki itu sudah bukan lagi jadi bagian masa depan yang harus kamu tuju” Sembur Ibu sembari menatapku tajam. Medengar Ibu menyebut kalimat ‘laki-laki itu’ aku langsung berpikir apa yang membuat Ibu menyahut seperti itu.
Ah, iya salah sebut nama. Lagi.
Aku termangu beberapa saat lalu menatap lekat laki-laki yang memiliki perawakan tinggi 170 cm, hidung mancung dan berkulit sawo matang tengah tersenyum sembari bergumam ‘Nggak papa’ tanpa suara kepadaku.
Dia Ganendra Pramadana Dri, bukan Rajendra Anangga. Sadar kamu!
”Maaf Bu” akhirnya hanya 2 kata itu yang lolos keluar dari mulutku.
“Jangan sama Ibu, sama dia Dri”
“Hm Pram—“
“Ayuk, ke Bukit Bintang. Oiya, nih brownies-nya, bawa aja nanti buat ngemil kamu dijalan. Boleh kan Bu bawa anak nakalnya keluar sebentar?” ujar Prama mencoba mencairkan suasana dengan topik baru.
“Ya udah sana berangkat, selak kewengen nanti lho”
Lets go!” Prama merangkulku keluar rumah, aku yang masih setengah sadar, mencoba mengikuti langkahnya dan baru menyadari hanya menggunakan piyama ketika melihat pantulan banyanganku di mobilnya.
“Astaga!”
“Kenapa?” Pram mengeryit bingung.
“Masa aku pake piyama sih, aku ganti baj—“
“Nggak usah, gitu aja udah rapi. Bisa 2 jam kemudian kita baru jalan kalau kamu masuk kamar lagi” komentarnya sembari mendorongku masuk pada kursi penumpang. Aku hanya berdecak tak terima.
“Lagian kenapa bawa mobil sih?” gerutuku tak suka, ia baru saja duduk pada kursi kemudi.
Sorry, aku tadi ada meeting di Gunung Kidul jadi bawa mobil ke kantor, kalau ke Bantul dulu ganti motor nanti takut kemalaman sampai rumahmu, belum lagi nunggu kamu siap-siap. Duh, ngebayanginnya aja aku nggak sanggup hahahah” jelasnya jenaka. Membuat otak cerdasku berpikir bahwa aku bodoh sudah memarahinya.
Bagaimana tidak, Prama tinggal di Bantul dan aku tinggal di Sleman, sedang kantor Prama ada di pusat kota Jogja dan akan lebih mudah, juga tidak bolak-balik dengan Prama langsung menjemputku. Sadar Dri! Jangan egois mementingkan dirimu sendiri.
“Maaf ya” ucapku lirih, nyaris tak terdengar. Namun tanpa ku sangka Prama sudah mendengarnya.
Sembari mengacak rambutku yang berantakan usai bangun tidur jadi semakin berantakan, ia hanya menjawab “Nggak papa, pelan-pelan ya. Aku bantu kok.”
“Nih makan ini dulu, habis bangun tidur pasti lapar kan?” ujarnya lagi sembari meletakkan kotak makan yang berisi brownies di pangkuanku. Aku masih saja bergeming dan tak sadar kini mobil Prama sudah berhenti di salah satu minimarket.
“Nih ya aku kasih tau, jodoh itu rahasia Tuhan Dri. Tugas kita cukup jalani saja apa yang sudah Tuhan kasih sampai saat ini. Dan saat ini Tuhan lagi ngasih Drisana untuk Angga. Jadi kamu tenang saja ya”
Teringat jelas sekali jawaban yang dulu begitu menenangkanku, ketika aku dihantui ketakutan jika harus kehilangannya. Dan sekarang jika waktu boleh diputar, aku ingin menamparnya setiap kali ia berbicara seperti itu.
Tok…tok….tok
            Ketukan kaca mobil membuyarkan lamunanku, menarik paksa-ku untuk sadar akan dunia saat ini yang sedang ku jalani
            “Nih minuman—lho kok belum di makan juga brownies-nya? Nggak mau nih? Yaudah aku yan—“
            Aku langsung menangkis tangannya yang terjulur hendak mengambil brownies-ku. Enak saja, ia sudah makan berapa iris tadi di rumahku?
            “Nah gitu dong! Yaudah makan yang banyak ya, jangan nangis mulu. Malu sama umur” celetuknya, kembali mengacak rambutku, dan memutar menuju kemudi.
            Sisa perjalanan, kami isi dengan bertukar cerita. Mulai dari pekerjaan masing-masing, perpolitikan Indonesia, hingga tempat wisata baru yang selanjutnya menjadi destinasi wisata kami berikutnya.
            Dari Sleman ke Bukit Bintang, hanya memerlukan waktu yang sebentar. Jaraknya yang tidak terlalu jauh juga Jogja yang tidak macet, membuat kami sampai tujuan dengan waktu 45 menit di perjalanan, bisa dipangkas lagi jika tidak ada lampu merah. Karena di Jogja bisa macet bukan karena padatnya kendaraan, tapi lampu merah yang banyak juga durasinya yang lama. Ah, tidak terbayang sih jika ini Ibu Kota. Sudah macet, ditambah banyak lampu merah berdurasi lama, bisa-bisa sampai tujuan esok hari berikutnya. Hahaha, Lebay!
            “Pesan apa Dri?” tanya Prama sembari membuka buku menu. Saat ini kita sedang berada di salah satu warung makan yang ada di Bukit Bintang. Ya jelas warung makan, memangnya apalagi Drisana?
            Jika kalian berpikir, Bukit Bintang adalah tempat luar angkasa untuk bisa melihat bintang, itu salah besar! Karena Bukit Bintang hanya sebuah tempat yang menjajakan banyak warung makan dengan pemandangan Kota Jogja dari ketinggian. Inilah sensasi dimana kemerlip lampu rumah warga Jogja disebut dengan bintang.
            “Aku mau gudeg”
            Eh, kok gudeg? Ya mana ada sih Dri, malam-malam orang jual gudeg.
            “Dri, ayol—“
            “Iya maaf, aku pesan ayam bakar sama es teh manis aja”
            “Jauh-jauh yang dipesan es teh manis, ck!” decak Prama meledek. “Kalau saya pesan nasi goreng ayam, sedang aja ya Mbak, terus air mineral botol 1, sama kopi jos-nya 1”
            Kopi jos? Mendengarnya membuatku kembali pada masa itu.
            “Kenapa sih cowok itu suka kopi. Padahal kan pahit. Apalagi kopi jos ini, udah kopi hitam terus dikasih arang, ihhhh” komentarku ketika melihat Angga meneguk kopi jos seperti air mineral yang terasa menyegarkan, membuatku langsung bergidik.
            “Karena kopi itu tidak munafik Dri. Ia benar-benar menunjukkan kekurangannya yang sedari awal memang pahit. Dari sini-lah kita bisa tau apa itu rasa manis.”
            “Hahaha, apaan sih sok puitis” kataku mencemooh.
            “Bilang aja nggak ngerti, ck! Simple nya tuh gini, tanpa rasa pahit kamu nggak akan kenal rasa manis. Sama kaya aku, kalau tanpa kamu hidupku sekarang pasti biasa-biasa saja”
            Sekilas kalimatnya memang seperti gombalan receh tak berfaedah, tapi waktu mendengarnya saat itu, mampu membuatku senyum-senyum sendiri di hadapannya. Dan sekarang hanya dengan mendengar ‘kopi jos’ saja mampu membuatku mengutuk diri sendiri, mengapa dulu aku begitu mempercayai semua kalimat yang diucapkannya.
Aku tersadar dari lamunanku, ketika sesuatu menutupi bagian bahuku. Ternyata Prama yang menyampirkan jaketnya kepadaku.
“Kalau kesini cuma buat melamun, mending pulang saja deh yuk” gumam Prama sembari menyesap kopi jos dengan pandangan lurus menatap gemerlap kota Jogja di hadapan kami.
“Ih jangan dong! Tadi cuma kepikiran kerjaan kantor aja kok, biasa lah” kilahku membohongi Prama yang pasti ketauan.
Tapi ngomong-ngomong, sejak kapan pesanannya sampai? Selama itu kah aku melamun?
“Basi banget alasannya. Kamu pikir aku anak kecil.” Timpal Prama berdecak tak terima ku bohongi. “Buruan makan, kasian ayamnya dianggurin sejak 10 menit lalu.” Alih-alih menimpalinya yang pasti berujung perdebatan panjang, aku memilih makan makanan yang sudah tersaji ini, meskipun sejujurnya aku jadi tidak selera.
Waktu berlalu begitu cepat, namun rasanya Kota Jogja seperti Kota New York, tidak pernah tidur, tidak pernah sepi meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mobil Prama melaju dengan kecepatan sedang menuju Malioboro, lebih tepatnya Angkringan Pak Suwiryo favoritku, yeay!
Beberapa lampu merah kembali menghentikan kami, selama perjalanan kami pun hanya mengobrol seputar tempat wisata apa yang akan kami kunjungi, ralat—maksudnya ku kunjungi, tapi Prama bersedia mengantar kemana pun, ya rejeki dong, aku iyakan saja, hehehe.
“Yakin nih besok ke Hutan Pinus? Nggak ke Pantai aja?” tanya Prama ketika mobil kembali bergerak melewati perempatan.
“Iya Pantai juga dong, kamu gimana sih?!” Prama geleng-geleng kepala. “Nih ya, pokoknya besok pagi, aku nggak mau tau harus bisa liat sunrise di Hutan Pinus, terus liat sunset  di Parangtritis. Ya? ya?” pintaku memohon dengan mimik puppy eyes.
“Banyak mau ya orang Jakarta”
“Hey, sorry-sorry aja ya, Jakarta cuma tempatku cari rupiah, tapi sampai kapan pun Jogja selalu jadi rumah”
“Dan kamu adalah rumahku Dri. Bukan hanya untuk aku pulang tapi juga menetap hingga hanya Tuhan yang berani memisahkan”
“Gombal terus!” kilahku mengalihkan tatapan darinya, padahal jelas seperti ada kupu-kupu terbang menggelitik perutku.
“Dri?”
“Yeee aku serius tau” Tapi buktinya, kamu tidak menjadikanku rumahmu Ngga.
 “Seserius apa sih Mas Angga?” ledekku.
“Drisana?”
 “Seserius aku akan merobek tiket keretamu sekarang juga, biar kamu nggak berangkat ke Jakarta dan disini bersamaku” pipiku benar-benar merona saat itu, tapi tidak dengan sekarang ketika bulir demi bulir membasahi pipiku.
“Drisana Arsyakayla?” panggil Prama sembari mengusap air mataku dengan ibu jarinya.
“Eh, udah sampai ya?” tanyaku terperanjat dan segera menghapus air mataku. Sedang Prama hanya diam saja menatapku intens.
“Tapi ini kan Pasar, iya nggak sih ini Pasar Beringharjo?” tanyaku lagi, memastikan mataku tidak salah melihat keadaan sekitar. Dan Prama tetap diam.
“Prama ih! Ini bukan Angkringan Pak Suwiryo” kataku setengah kesal karena ia tak kunjung berbicara. “Kalau kamu masih mau diam, aku jalan kaki saja seka—“ saat itu juga ketika aku hendak keluar, dengan satu tombol Prama berhasil mengunci pintunya. Aku berbalik menatapnya kesal.
“Kamu kenapa sih Pram nyebelin banget!”
“Kamu yang kenapa Dri” akhirnya ia membalas ucapanku, tapi kini justru aku yang dibuat bungkam karena suaranya yang datar.
“Lho, memangnya aku kenapa?” tanyaku tak mau kalah, meski sebenarnya aku sedang mencoba berusaha baik-baik saja.
“Kamu bukan tidak bisa melupakannya Dri, tapi kamu yang tidak ada niat dan kemau—“
“Kata siapa nggak ada kemauan?” potongku yang kali ini membuat Prama tertawa prihatin dan menyadari bahwa aku memang tidak baik-baik saja.
“Drisana, Drisana, kamu itu kenapa suka sekali berbohong sih? Bohong sama aku sih nggak papa, lain hal dengan bohong pada dirimu sendiri itu kentara sekali” timpal Prama sembari menundukkan kepalanya pada setir kemudi, sedang aku masih mencoba untuk tidak kalah pada perdebatan ini.
“Aku nggak boh—“
“Kamu bohong Dri!” tudingnya sembari agak meninggikan suaranya, seketika membuatku kembali bungkam dan berusaha menahan buliran agar tidak terjatuh lagi.
“Sesekali kita memang harus mengakui Dri, bahwa kita sedang tidak baik-baik saja” air mataku akhirnya lolos. “Kamu dan Angga memang sudah tidak ada yang bisa diperbaiki Dri. Angga itu brengsek. Camkan itu baik-baik!” air mataku kembali lolos, kali ini semakin deras.
“Ingat Dri, semua itu butuh proses” Prama meraihku dalam pelukannya, “Termasuk dalam menyembuhkan luka, itu juga butuh proses Dri. Jadi, cukup dinikmati saja jangan dirasakan kembali apalagi harus berkelana lagi pada masa lalu yang sudah terkubur” imbuh Prama sembari mengeratkan pelukannya, dan aku hanya bisa menangis sesegukan dalam rengkuhannya.
30 menit didalam mobil, hanya kuhabiskan untuk menangis tanpa melepas rengkuhan Prama, dan Prama pun tak menghiraukan kemejanya yang basah akibat tangisanku, ia tetap setia merengkuh dan mengusap punggungku hingga tangisku perlahan-lahan mereda.
Aku melepaskan pelukannya dan kini menatap mata teduhnya. “Aku butuh obat Pram” dan Prama hanya tersenyum mengangguk setuju. “Tapi siapa Pram? Siapa yang mau menerima perempuan penuh luka masa lalu sepertiku? Pasti tidak ada” kataku sembari menarik tisu diatas dashboard.
“Ada, kamu saja tidak pernah sadar”
“Siapa? Kamu?” tanyaku, dan Prama mengangguk mantap.
“Aku serius Pram, aku capek kaya gini terus setahun terakhir, aku juga mau bahagia kaya dia yang bahagia tanpa aku” keluhku masih dengan mengelap wajah.
            “Kamu pikir aku bercanda?”
            “Maksudnya?” tanyaku mengeryitkan dahi tidak mengerti.
            “Nikah sama aku ya Dri?” pintanya yang memang ku lihat tidak ada candaan di wajahnya.
            “Hahaha, jokes mu garing!” timpalku, kali ini mengalihkan pandangan.
            “Aku serius Dri.” Ulangnya lagi, kali ini memutar dagu ku, agar aku kembali melihat keseriusan di wajahnya, “Mau ya nikah sama aku? Kita jadikan Jogja bukan hanya tempat bertamu pada waktu tertentu tapi juga tempat kita bertemu dan melepas rindu setiap harinya. Mau ya Dri?” ungkap Prama panjang lebar, yang kini membuatku membeku. Ku teliti setiap inci wajahnya, berharap menemukan gurauan, tapi yang ada hanya keseriusan. Bagaimana ini?
            “Dri?” panggil Prama sembari menepuk pelan pipi kananku.
            “Hah, apa Pram?”
            “Duh, tolong ya Drisana Arsyakayla jangan diam saja, nanti kesambet aku repot, hahaha” kali ini aku memukul lengannya pelan, dan Prama akting seperti kesakitan.
            Hening, hanya ada suara beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang di daerah Pasar. Aku dan Prama terlibat moment akward, dimana baik aku dan Prama hanya memandang lurus kedepan jalan. Aku sendiri juga bingung harus bagaimana, kalau ku jawab iya, bukankah itu terlalu cepat? Maksudku, walaupun kita sudah dekat sejak lahir, tapi… arghh tapi jika aku jawab tidak, mana mungkin aku menyakiti sahabatku sendiri? Sedang aku juga nyaman setiap bersamanya. Oke baik, ini harus diputuskan dengan segera.
            “Prama” panggilku, yang sukses membuat Prama menatapku, begitu juga aku.
            “Aku nggak tau harus jawab apa. tapi boleh nggak aku minta waktu?”
            Sure! Asal sampai kapan pun waktunya, kamu nggak boleh jawab enggak. Gimana? Deal?”
            “Itu sama aja jawabannya iya dong?” rengekku tak terima.
            “Ya memang jawabannya harus iya. Memangnya mau apalagi? Kamu harus sembuh, dan obatnya hanya aku” imbuh Prama penuh percaya diri sembari mencolok pipiku dengan terlunjuknya.
            “Jangan kepedean kaya gitu. Lag—“
            “Ah cewek kebanyakan drama. Bilang yes aja lama banget” gerutunya sembari mencengkram setir kemudi.
“Yaudah deal!” tutupku, mata Prama berbinar kegirangan.
“Yah, tapi aku nggak bawa cincinnya sekarang Dri. Besok saja ya di Hutan Pinus”
“Nggak usah pakai cincin, nanti saja kalau aku sudah jawab yes. Sekarang kan aku butuh waktu dulu” kataku meledeknya.
“Ya kan tadi aku udah bilang, selama apa pun waktunya akan aku kasih tapi kamu nggak boleh jawab enggak, itu berarti kamu menerima lamaranku. Gimana sih?!” keluhnya mulai kesal, dan aku hanya tertawa saja melihat tingkah lakunya.

            Dan pada akhirnya, Ganendra Pramadana adalah rumah yang selama ini aku cari. Rumah yang bukan hanya ilusi semata, tapi memang nyata adanya. Rumah yang melindungi dari dinginnya hujan dan panasnya matahari. Rumah yang akan selalu menjadi pusat ketenangan dan kebahagiaanku di hari-hari berikutnya.

Dan untuk Rajendra Anangga, terima kasih sudah memberikanku tempat singgah. Karena bagaimana pun, tanpamu aku takkan pernah tau arah kemana harus melangkah. Meski kini tujuan kita sudah berbeda, aku tak lagi menyalahkanmu atau diriku sendiri. Sebab, perihal ditinggalkan atau meninggalkan memang tidak bisa dibenarkan, tapi jalan hidup setiap insan bukankah sudah ditakdirkan?

Jadi, biarlah kenangan yang mengisi ruang memori kita. Tanpanya, aku dan kamu takkan pernah jadi dewasa. Sekali lagi, terima kasih ya, karenamu aku mengerti apa arti pulang sesungguhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#CERITAKU, Kesalahan untuk Pengalaman

Seperti biasa jika ada waktu senggang, setiap hari minggu gue usahain untuk ikut kajian di daerah kota tempat tinggal gue sendiri, ya Bekasi. Hari ini gue ikut 2 kajian sekaligus dengan pemateri dan materi yang berbeda namun di tempat yang sama, tapi hari ini menurut gue hetic banget selain emang udah niat buat datang kajian, gue dapat kabar kalo gue lolos seleksi interview buat jadi komite salah satu komunitas hijab di Bekasi, jangan ditanya rasanya gimana, udah pasti gue seneng banget tapi disisi lain gue ngga mau menyia-nyiakan ilmu yang akan gue dapat dari 2 kajian ini. Okay gue puter otak berusaha buat manage waktu gimana pun caranya semuanya harus bisa terlaksana. Oke paginya gue usahain sebelum berangkat kajian, tugas rumah harus udah beres. Oke mungkin kalian bingung dimana letak heticnya . Gue ceritain nih tepat pukul 08.30 gue udah rapi, gue coba hubungi temen gue yang mau berangkat bareng, gue whatsapp ngga deliv , gue telpon ngga diangkat, bingung kan pasti jad...

#HANYA SUDUT PANDANG, Antara cita-cita dan Realita

Cita-cita? Bisa dibilang juga keinginan, apa yang kita inginkan dimasa depan. Gue rasa kalian pernah punya ekspetasi terhadap satu hal tapi realitanya berbanding terbalik dari itu. Gue pun sama, sering mengalami kejadian yang menurut gue itu pahit diawal manis diakhir. Ya begitulah pendapat gue. Sejak lulus SMK Juli 2017 lalu, entah apa yang membuat gue jadi suka membaca dan menulis, memang sih bukan bacaan pelajaran atau tulisan yang penting tapi itu cukup buat gue ngerasa kaya terhibur banget. Bisa dibilang setelah lulus SMK tahun lalu, gue nganggur 3 bulan sambil nunggu masuknya kuliah, ya selama 3 bulan itu juga kerjaan gue cuma ya beres-beres rumah, main sana-sini nggak berfaedah yang sampai akhirnya gue juga gatau gimana awalnya gue suka sama aplikasi wattpad , setelah itu gue jadi suka baca dan terbesit dalam benak, kenapa gue nggak coba menyuguhkan cerita seperti mereka? Awalnya gue berpikir, ah mana bisa gue, punya niatan baca aja udah bagus, ini malak sok-sok an buat cerit...