Awan hitam berkumpul pada langit Jakarta dini hari. Aku
berjalan menyusuri lorong Stasiun Pasar Senen menuju percetakan tiket boarding pass. Setelah drama yang
panjang, akhirnya aku bisa mengambil cuti. Menjadi kacung di Jakarta sejatinya bukanlah sebuah impian tapi kini
menjadi pilihan yang dijalankan.
Persiapan
keberangkatan Kereta Bengawan dengan tujuan akhir Stasiun Wonosari akan
diberangkatkan pukul 06.00 WIB.
Intruksi petugas membuatku bangkit dari kursi tunggu, ku
lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku, pukul 05.40 artinya
masih ada waktu 20 menit lagi sebelum keberangkatan. Aku memasuki Gate 3 menyerahkan tiket juga kartu
identitas disusul mencari gerbong kereta 6 seat
3D, tepat disamping jendela. Spot favoritku.
10 menit sebelum keberangkatan, ku rapatkan jaket yang ku
kenakan, mengambil headset juga
ponsel, serta satu novel yang baru ku beli 2 hari lalu di Pasar Kenari. Ku buka
ponsel tersebut dan melihat notifikasi yang masuk, kebanyakan dari Aplikasi
Whatsapp. Ada 2 pesan dari Ibu dan 2 pesan dari Kayana.
Ibu: Nak,
sudah berangkat belum?
Ibu: Jangan
lupa sarapan sama minum tolak angin ya.
Me:
Iya Bu, ini baru saja masuk keretaJ
Ibu: Ya
sudah, hati-hati ya, kabari Ibu kalau sudah sampai.
Me:
Oke Ibu. I love you:*
Ibu: Read.
Ya
begitulah Ibu, meski cuek tapi sebetulnya perhatian dan sangat sayang terhadap
putri semata wayangnya ini. Lalu selanjutnya ku buka pesan dari teman kantor
juga teman bandel saat zaman SMP dulu. Kayana Kamaniya.
Kayana: Jodohku
tolong bawa pulang ya Dri
Kayana: Oleh-olehku
itu saja cukup kok:D
Me:
Bawa Bakpia saja aku malas, apalagi
harus cari siapa jodohmu itu Kay_-
Tak sampai 1
menit, balasan Kayana langsung muncul.
Kayana: Ya
sudah bawakan aku gudeg buatan Ibumu
saja deh ya.
Me:
wani piro? Hahaha.
Kayana: -___-
Ku
tutup aplikasi chat tersebut, lalu
mengambil Novel dan mulai hanyut dalam ceritanya. Pelan tapi pasti, suara
gesekan rel mulai terdengar di telingaku, pertanda kereta mulai melaju menuju
kota rindu, Yogyakarta.
Setelah
menempuh waktu kurang lebih 8 jam, akhirnya aku kembali menapaki Stasiun
Lempuyangan. Rasa rindu yang sudah membubung kini nyaris meledak, ku ambil
ponsel dari saku jaket, ada 3 pesan masuk melalui Whatsapp.
Ibu: Sudah
sampai belum Dri?
Aku tersenyum
membacanya, Ibu memang selalu seperti itu.
Me: Baru sampai Lempuyangan Bu, Bapak sudah pulang?
2 pesan lain masuk dari Ganendra
Pramadana— spesies manusia menyebalkan yang sudah hadir di hidupku sejak aku
lahir ke dunia ini. Iya, aku terlahir 10 hari lebih dulu darinya. Tetangga sebelah
yang sejak 3 tahun lalu harus pindah ke Bantul, sekaligus sahabat yang saat ini
bekerja sebagai karyawan IT di salah satu perusahaan yang ada di daerah
Yogyakarta.
G. Pramadana: Dri,
perkiraan sampai jam berapa?
G. Pramadana: Sepertinya
aku tidak bisa jemput, baru selesai meetingL
Nggak papa kan?
Pesan
pertama masuk 3 jam yang lalu, dan pesan yang kedua masuk 1 jam yang lalu. Aku
memang memiliki kebiasaan bisa dikatakan baik tapi bisa juga dikatakan buruk,
entahlah kalian saja yang menilai. Kebiasaanku ketika berpergian kemana pun,
ponsel benar-benar stand by di dalam
tas atau saku, aku jarang sekali membukanya, kecuali ada panggilan masuk.
Kenapa? Karena aku suka menikmati perjalanan, apalagi menaiki kereta, tidak
boleh ada yang menganggu me time-ku.
Me: Iya nggak papa Pram, aku baru sampai Lempuyangan,
ini mau order ojol. See you!
Baru akan
memesan ojol, panggilan masuk muncul dari Ibu.
“Halo, Iya Bu?”
“Kamu dimana?”
“Masih di
Lempuyangan Bu, ini mau pesan ojek online”
ujarku sembari berjalan
ke pinggiran Stasiun.
“Lho, Prama
nggak jemput?” tanya Ibu disertai suara bising yang ku yakini
mixer.
“Baru selesai meeting katanya Bu”
“Hmm begitu, ya
sudah Ibu tutup teleponnya, Kamu hati-hati”
“Iy—“
Bip.
Belum juga menjawab, sudah ditutup saja.
Usai
ojol-ku sampai, aku langsung melesat menuju Jombor, Kabupaten Sleman.
Sebelumnya aku meminta driver untuk memutar
terlebih dahulu ke Malioboro, entah apa yang membuatku selalu merindukan tempat
yang tak pernah sepi ini. Aku sempat berhenti di depan Jalan Dagen. Dan kulihat
Pak Suwiryo tengah sibuk membuka lapak angkringannya.
“Mas,
sebentar ya. Nanti ongkosnya saya tambahin kok” pamitku pada driver ojol yang ku tumpangi.
Aku
berjalan menghampiri lapak Pak Suwiryo, sepertinya beliau tidak sadar ketika
aku sudah menarik salah satu kursi dan duduk di depan gerobaknya.
“Sugeng Sonten Pak” ucapku yang sukses
membuat Pak Suwiryo sedikit kaget.
“Walah,Mbak Dri. Beneran Mbak Dri tho iki?” jawabnya sembari
menghampiriku, aku menyalaminya.
“Iya
Pak, memangnya siapa lagi, hehehe”
“Mau
apa? Mau apa? tak buatin” imbuh Pak
Suwiryo kembali ke belakang gerobak dan hendak meracik sesuatu.
“Nanti
malam saja Pak, saya baru sampai banget, ini mau pulang dulu.”
“Lho,
serius lho ini, Bapak buatin es teh manis saja dulu ya”
“Ndak usah Pak, beneran deh, ditungguin
Mas ojek, nggak enak. Nanti malam saja saya kesini lagi” Tolakku sembari
beranjak dan menunjuk driver ojol
yang masih setia menungguku.
“Walah, bener nih?” aku mengangguk
mantap.
“Yowis, beneran lho ya nanti malam kesini?
Nanti Bapak buatkan apa pun yang Mbak Dri mau” imbuhnya sembari merapikan
gelas-gelas, aku mengangguk mantap dan tertawa.
“Apa
pun buatan Bapak memang selalu wenak, oleh
sebab itu, setiap pulang, aku selalu mampir kesini, hehehe”
“Bisa
aja Mbak Dri ini” kami tertawa bersamaan, dan aku langsung pamit untuk
melanjutkan perjalanan pulang, karena pasti Ibu akan meneleponku lagi, jika
dalam setengah jam aku belum sampai rumah.
Setelah
turun dan membayar ojol, aku tidak langsung masuk ke rumah, melainkan diam dan
memperhatikan lingkungan sekitar. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama,
rumahku yang berwarna putih dengan dekorasi wayang kulit di dindingnya, serta
pagar hitam setinggi dagu ku yang masih melengkapi rumah sederhana ini.
“Sudah
mau magrib nggak baik anak gadis melamun di depan pagar” suara bariton Bapak
membuyarkan lamunanku, beliau sudah rapi dengan sarung dan baju koko coklat
lengkap dengan kopyah yang melekat di
kepalanya.
Aku
hanya nyengir, lalu membuka pagar, dibantu Bapak yang membawa koperku memasuki
rumah. Aku langsung mencium punggung tangannya, disusul suara derap langkah
yang ku yakini Ibu mulai mendekat ke arah kami.
“Pasti
tadi muter-muter dulu ke Malioboro kan?” tebaknya sembari berjalan
menghampiriku, lengkap dengan apron yang
masih melekat di tubuhnya, juga percikan terigu yang menempel di pipi kanan dan
dahinya. Aku dan Bapak beradu pandang menahan tawa.
“Orang
tua tanya itu dijawab Drisana, bukannya mesam-mesem
kaya gitu” dumel Ibu bersamaan denganku yang menyalaminya.
“Lha wong Ibuk ini lho, sudah tau
jawabannya kok ya masih tanya” Bapak bersuara sembari memasukkan Badut—burung
perkutut kesayangannya ke Garasi. Ibu hanya mendengus tak memperpanjang, dan
Bapak langsung berpamitan menuju Masjid.
Aku
langsung melesat menuju dapur, lebih tepatnya membuka tudung saji, pasti brownies kesukaanku sudah rampung dibuat
Ibu. Dan benar saja, tak tanggung-tanggung ada 5 loyang brownies yang menggugah selera masih mengepul di hadapanku. Aku
mengambil pisau kue, hendak mengiris, namun…
“Kalau
darimana-mana, apalagi habis berpergian jauh, itu ke kamar mandi dulu, cuci
tangan, syukur langsung mandi” ujar Ibu sembari menutup kembali tudung saji.
Pupuslah keinginanku, apalagi jika
Ibu sudah bersabda seperti itu,huft
Daripada
ruwet, aku memilih menuruti perkataan
Ibu, meski sejujurnya aku ingin
sekali malahap langsung brownies-brownies
itu. Aku memasuki kamarku yang berwarna biru. Meski kerap ditinggal,
kamarku selalu bersih dan siap digunakan. Sejenak aku merebahkan diri, menatap
langit-langit kamar sebelum akhirnya kumandang adzan magrib memaksaku untuk
segera mandi dan bersih-bersih diri.
“Dri, bangun Dri. Brownies-nya aku habisin lho ini”
samar-samar ku dengar suara yang tak asing di telingaku.
“Woahhh,
wenak tenan. Buk aku habisin
yaaaa? Dri ndak bangun-bangun. Nyammm!” mendengar brownies, aku yang semula ketiduran usai bersih-bersih, langsung
bangun terduduk, mengerjap-ngerjap siapa seseorang yang tengah berdiri santai
pada pintu kamarku, dengan sepiring berisi irisan brownies di tangan kirinya, juga sepotong brownies lainnya yang siap dilahapnya.
“Aaam, wenak Buk” ujarnya sembari menelengkan kepala ke arah dapur.
Begitu nyawaku terkumpul sepenuhnya,
dan jelas melihat siapa yang tengah asyik memakan brownies-ku, aku langsung loncat dari ranjang untuk merebut brownies darinya.
“Whoa-whoa,
bangun juga akhirnya dia Bu” ujarnya sembari mengangkat tinggi piring
berisi brownies tersebut.
“Siniin nggak?! Itu punyaku” kataku
sembari berjinjit-jinjit. Bukannya memberikan, laki-laki itu justru terus-menerus
meledekku.
“Nyammm,
enakkkk”
“Angga, balikin brownies-ku! Datang-datang kenapa nyebelin banget sih?!” gerutuku,
yang akhirnya membuat ia menyerahkan piring brownies
yang tersisa 2 potong.
“Ihhh Angga! Kenapa disisain cuma
2?!” teriakku murka, dan laki-laki itu langsung berlari menghampiri Ibuku di
ruang tengah dengan cengengesan.
“Ibukkkkk, brownies-ku dihabisin Angga”
aduku pada Ibu yang kini tengah serius menonton sinetron kesukaannya. Alih-alih
membelaku, Ibu justru membela laki-laki ini.
“Bangun
Drisana, laki-laki itu sudah bukan lagi jadi bagian masa depan yang harus kamu
tuju” Sembur Ibu sembari menatapku tajam. Medengar Ibu menyebut kalimat
‘laki-laki itu’ aku langsung berpikir apa yang membuat Ibu menyahut seperti
itu.
Ah, iya salah sebut nama. Lagi.
Aku
termangu beberapa saat lalu menatap lekat laki-laki yang memiliki perawakan
tinggi 170 cm, hidung mancung dan berkulit sawo matang tengah tersenyum sembari
bergumam ‘Nggak papa’ tanpa suara kepadaku.
Dia Ganendra Pramadana Dri, bukan Rajendra
Anangga. Sadar kamu!
”Maaf
Bu” akhirnya hanya 2 kata itu yang lolos keluar dari mulutku.
“Jangan
sama Ibu, sama dia Dri”
“Hm
Pram—“
“Ayuk,
ke Bukit Bintang. Oiya, nih brownies-nya,
bawa aja nanti buat ngemil kamu dijalan. Boleh kan Bu bawa anak nakalnya keluar
sebentar?” ujar Prama mencoba mencairkan suasana dengan topik baru.
“Ya
udah sana berangkat, selak kewengen nanti
lho”
“Lets go!” Prama merangkulku keluar
rumah, aku yang masih setengah sadar, mencoba mengikuti langkahnya dan baru
menyadari hanya menggunakan piyama ketika melihat pantulan banyanganku di
mobilnya.
“Astaga!”
“Kenapa?”
Pram mengeryit bingung.
“Masa
aku pake piyama sih, aku ganti baj—“
“Nggak
usah, gitu aja udah rapi. Bisa 2 jam kemudian kita baru jalan kalau kamu masuk
kamar lagi” komentarnya sembari mendorongku masuk pada kursi penumpang. Aku
hanya berdecak tak terima.
“Lagian
kenapa bawa mobil sih?” gerutuku tak suka, ia baru saja duduk pada kursi
kemudi.
“Sorry, aku tadi ada meeting di Gunung Kidul jadi bawa mobil ke kantor, kalau ke Bantul
dulu ganti motor nanti takut kemalaman sampai rumahmu, belum lagi nunggu kamu
siap-siap. Duh, ngebayanginnya aja aku nggak sanggup hahahah” jelasnya jenaka.
Membuat otak cerdasku berpikir bahwa aku bodoh sudah memarahinya.
Bagaimana
tidak, Prama tinggal di Bantul dan aku tinggal di Sleman, sedang kantor Prama ada
di pusat kota Jogja dan akan lebih mudah, juga tidak bolak-balik dengan Prama
langsung menjemputku. Sadar Dri! Jangan
egois mementingkan dirimu sendiri.
“Maaf
ya” ucapku lirih, nyaris tak terdengar. Namun tanpa ku sangka Prama sudah
mendengarnya.
Sembari
mengacak rambutku yang berantakan usai bangun tidur jadi semakin berantakan, ia
hanya menjawab “Nggak papa, pelan-pelan ya. Aku bantu kok.”
“Nih
makan ini dulu, habis bangun tidur pasti lapar kan?” ujarnya lagi sembari
meletakkan kotak makan yang berisi brownies
di pangkuanku. Aku masih saja bergeming dan tak sadar kini mobil Prama
sudah berhenti di salah satu minimarket.
“Nih ya aku kasih tau, jodoh itu
rahasia Tuhan Dri. Tugas kita cukup jalani saja apa yang sudah Tuhan kasih
sampai saat ini. Dan saat ini Tuhan lagi ngasih Drisana untuk Angga. Jadi kamu
tenang saja ya”
Teringat jelas sekali jawaban yang
dulu begitu menenangkanku, ketika aku dihantui ketakutan jika harus
kehilangannya. Dan sekarang jika waktu boleh diputar, aku ingin menamparnya
setiap kali ia berbicara seperti itu.
Tok…tok….tok
Ketukan kaca mobil membuyarkan
lamunanku, menarik paksa-ku untuk sadar akan dunia saat ini yang sedang ku
jalani
“Nih minuman—lho kok belum di makan
juga brownies-nya? Nggak mau nih?
Yaudah aku yan—“
Aku langsung menangkis tangannya
yang terjulur hendak mengambil brownies-ku.
Enak saja, ia sudah makan berapa iris
tadi di rumahku?
“Nah gitu dong! Yaudah makan yang banyak ya, jangan
nangis mulu. Malu sama umur” celetuknya, kembali mengacak rambutku, dan memutar
menuju kemudi.
Sisa perjalanan, kami isi dengan
bertukar cerita. Mulai dari pekerjaan masing-masing, perpolitikan Indonesia,
hingga tempat wisata baru yang selanjutnya menjadi destinasi wisata kami
berikutnya.
Dari Sleman ke Bukit Bintang, hanya
memerlukan waktu yang sebentar. Jaraknya yang tidak terlalu jauh juga Jogja
yang tidak macet, membuat kami sampai tujuan dengan waktu 45 menit di
perjalanan, bisa dipangkas lagi jika tidak ada lampu merah. Karena di Jogja
bisa macet bukan karena padatnya kendaraan, tapi lampu merah yang banyak juga
durasinya yang lama. Ah, tidak terbayang
sih jika ini Ibu Kota. Sudah macet, ditambah banyak lampu merah berdurasi lama,
bisa-bisa sampai tujuan esok hari berikutnya. Hahaha, Lebay!
“Pesan apa Dri?” tanya Prama sembari membuka buku
menu. Saat ini kita sedang berada di salah satu warung makan yang ada di Bukit
Bintang. Ya jelas warung makan, memangnya
apalagi Drisana?
Jika kalian berpikir, Bukit Bintang adalah tempat
luar angkasa untuk bisa melihat bintang, itu salah besar! Karena Bukit Bintang
hanya sebuah tempat yang menjajakan banyak warung makan dengan pemandangan Kota
Jogja dari ketinggian. Inilah sensasi dimana kemerlip lampu rumah warga Jogja disebut
dengan bintang.
“Aku mau gudeg”
Eh,
kok gudeg? Ya mana ada sih Dri, malam-malam orang jual gudeg.
“Dri, ayol—“
“Iya maaf, aku pesan ayam bakar sama
es teh manis aja”
“Jauh-jauh yang dipesan es teh
manis, ck!” decak Prama meledek. “Kalau saya pesan nasi goreng ayam, sedang aja
ya Mbak, terus air mineral botol 1, sama kopi jos-nya 1”
Kopi
jos? Mendengarnya membuatku kembali pada masa itu.
“Kenapa
sih cowok itu suka kopi. Padahal kan pahit. Apalagi kopi jos ini, udah kopi
hitam terus dikasih arang, ihhhh” komentarku ketika melihat Angga meneguk kopi
jos seperti air mineral yang terasa menyegarkan, membuatku langsung bergidik.
“Karena
kopi itu tidak munafik Dri. Ia benar-benar menunjukkan kekurangannya yang
sedari awal memang pahit. Dari sini-lah kita bisa tau apa itu rasa manis.”
“Hahaha,
apaan sih sok puitis” kataku mencemooh.
“Bilang
aja nggak ngerti, ck! Simple nya tuh gini, tanpa rasa pahit kamu nggak akan
kenal rasa manis. Sama kaya aku, kalau tanpa kamu hidupku sekarang pasti
biasa-biasa saja”
Sekilas
kalimatnya memang seperti gombalan receh tak berfaedah, tapi waktu mendengarnya
saat itu, mampu membuatku senyum-senyum sendiri di hadapannya. Dan sekarang
hanya dengan mendengar ‘kopi jos’ saja mampu membuatku mengutuk diri sendiri,
mengapa dulu aku begitu mempercayai semua kalimat yang diucapkannya.
Aku
tersadar dari lamunanku, ketika sesuatu menutupi bagian bahuku. Ternyata Prama
yang menyampirkan jaketnya kepadaku.
“Kalau
kesini cuma buat melamun, mending pulang saja deh yuk” gumam Prama sembari
menyesap kopi jos dengan pandangan lurus menatap gemerlap kota Jogja di hadapan
kami.
“Ih
jangan dong! Tadi cuma kepikiran kerjaan kantor aja kok, biasa lah” kilahku
membohongi Prama yang pasti ketauan.
Tapi ngomong-ngomong, sejak kapan
pesanannya sampai? Selama itu kah aku melamun?
“Basi
banget alasannya. Kamu pikir aku anak kecil.” Timpal Prama berdecak tak terima
ku bohongi. “Buruan makan, kasian ayamnya dianggurin sejak 10 menit lalu.”
Alih-alih menimpalinya yang pasti berujung perdebatan panjang, aku memilih
makan makanan yang sudah tersaji ini, meskipun sejujurnya aku jadi tidak selera.
Waktu
berlalu begitu cepat, namun rasanya Kota Jogja seperti Kota New York, tidak
pernah tidur, tidak pernah sepi meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Mobil Prama melaju dengan kecepatan sedang menuju Malioboro, lebih tepatnya
Angkringan Pak Suwiryo favoritku, yeay!
Beberapa
lampu merah kembali menghentikan kami, selama perjalanan kami pun hanya
mengobrol seputar tempat wisata apa yang akan kami kunjungi, ralat—maksudnya ku
kunjungi, tapi Prama bersedia mengantar kemana pun, ya rejeki dong, aku iyakan
saja, hehehe.
“Yakin
nih besok ke Hutan Pinus? Nggak ke Pantai aja?” tanya Prama ketika mobil
kembali bergerak melewati perempatan.
“Iya
Pantai juga dong, kamu gimana sih?!” Prama geleng-geleng kepala. “Nih ya,
pokoknya besok pagi, aku nggak mau tau harus bisa liat sunrise di Hutan Pinus, terus liat sunset di Parangtritis. Ya?
ya?” pintaku memohon dengan mimik puppy
eyes.
“Banyak
mau ya orang Jakarta”
“Hey,
sorry-sorry aja ya, Jakarta cuma
tempatku cari rupiah, tapi sampai kapan pun Jogja selalu jadi rumah”
“Dan kamu adalah rumahku Dri. Bukan
hanya untuk aku pulang tapi juga menetap hingga hanya Tuhan yang berani
memisahkan”
“Gombal terus!” kilahku mengalihkan
tatapan darinya, padahal jelas seperti ada kupu-kupu terbang menggelitik
perutku.
“Dri?”
“Yeee aku serius tau” Tapi
buktinya, kamu tidak menjadikanku rumahmu Ngga.
“Seserius apa sih Mas Angga?” ledekku.
“Drisana?”
“Seserius aku akan merobek tiket keretamu
sekarang juga, biar kamu nggak berangkat ke Jakarta dan disini bersamaku”
pipiku benar-benar merona saat itu, tapi tidak dengan sekarang ketika bulir
demi bulir membasahi pipiku.
“Drisana
Arsyakayla?” panggil Prama sembari mengusap air mataku dengan ibu jarinya.
“Eh,
udah sampai ya?” tanyaku terperanjat dan segera menghapus air mataku. Sedang
Prama hanya diam saja menatapku intens.
“Tapi
ini kan Pasar, iya nggak sih ini Pasar Beringharjo?” tanyaku lagi, memastikan
mataku tidak salah melihat keadaan sekitar. Dan Prama tetap diam.
“Prama
ih! Ini bukan Angkringan Pak Suwiryo” kataku setengah kesal karena ia tak
kunjung berbicara. “Kalau kamu masih mau diam, aku jalan kaki saja seka—“ saat
itu juga ketika aku hendak keluar, dengan satu tombol Prama berhasil mengunci
pintunya. Aku berbalik menatapnya kesal.
“Kamu
kenapa sih Pram nyebelin banget!”
“Kamu
yang kenapa Dri” akhirnya ia membalas ucapanku, tapi kini justru aku yang
dibuat bungkam karena suaranya yang datar.
“Lho,
memangnya aku kenapa?” tanyaku tak mau kalah, meski sebenarnya aku sedang mencoba
berusaha baik-baik saja.
“Kamu
bukan tidak bisa melupakannya Dri, tapi kamu yang tidak ada niat dan kemau—“
“Kata
siapa nggak ada kemauan?” potongku yang kali ini membuat Prama tertawa prihatin
dan menyadari bahwa aku memang tidak baik-baik saja.
“Drisana,
Drisana, kamu itu kenapa suka sekali berbohong sih? Bohong sama aku sih nggak
papa, lain hal dengan bohong pada dirimu sendiri itu kentara sekali” timpal
Prama sembari menundukkan kepalanya pada setir kemudi, sedang aku masih mencoba
untuk tidak kalah pada perdebatan ini.
“Aku
nggak boh—“
“Kamu
bohong Dri!” tudingnya sembari agak meninggikan suaranya, seketika membuatku
kembali bungkam dan berusaha menahan buliran agar tidak terjatuh lagi.
“Sesekali
kita memang harus mengakui Dri, bahwa kita sedang tidak baik-baik saja” air
mataku akhirnya lolos. “Kamu dan Angga memang sudah tidak ada yang bisa
diperbaiki Dri. Angga itu brengsek. Camkan itu baik-baik!” air mataku kembali
lolos, kali ini semakin deras.
“Ingat
Dri, semua itu butuh proses” Prama meraihku dalam pelukannya, “Termasuk dalam
menyembuhkan luka, itu juga butuh proses Dri. Jadi, cukup dinikmati saja jangan
dirasakan kembali apalagi harus berkelana lagi pada masa lalu yang sudah
terkubur” imbuh Prama sembari mengeratkan pelukannya, dan aku hanya bisa
menangis sesegukan dalam rengkuhannya.
30
menit didalam mobil, hanya kuhabiskan untuk menangis tanpa melepas rengkuhan
Prama, dan Prama pun tak menghiraukan kemejanya yang basah akibat tangisanku,
ia tetap setia merengkuh dan mengusap punggungku hingga tangisku perlahan-lahan
mereda.
Aku
melepaskan pelukannya dan kini menatap mata teduhnya. “Aku butuh obat Pram” dan
Prama hanya tersenyum mengangguk setuju. “Tapi siapa Pram? Siapa yang mau
menerima perempuan penuh luka masa lalu sepertiku? Pasti tidak ada” kataku
sembari menarik tisu diatas dashboard.
“Ada,
kamu saja tidak pernah sadar”
“Siapa?
Kamu?” tanyaku, dan Prama mengangguk mantap.
“Aku
serius Pram, aku capek kaya gini terus setahun terakhir, aku juga mau bahagia
kaya dia yang bahagia tanpa aku” keluhku masih dengan mengelap wajah.
“Kamu pikir aku bercanda?”
“Maksudnya?” tanyaku mengeryitkan
dahi tidak mengerti.
“Nikah sama aku ya Dri?” pintanya
yang memang ku lihat tidak ada candaan di wajahnya.
“Hahaha, jokes mu garing!” timpalku, kali ini mengalihkan pandangan.
“Aku serius Dri.” Ulangnya lagi,
kali ini memutar dagu ku, agar aku kembali melihat keseriusan di wajahnya, “Mau
ya nikah sama aku? Kita jadikan Jogja bukan hanya tempat bertamu pada waktu
tertentu tapi juga tempat kita bertemu dan melepas rindu setiap harinya. Mau ya
Dri?” ungkap Prama panjang lebar, yang kini membuatku membeku. Ku teliti setiap
inci wajahnya, berharap menemukan gurauan, tapi yang ada hanya keseriusan.
Bagaimana ini?
“Dri?” panggil Prama sembari menepuk
pelan pipi kananku.
“Hah, apa Pram?”
“Duh, tolong ya Drisana Arsyakayla
jangan diam saja, nanti kesambet aku repot, hahaha” kali ini aku memukul
lengannya pelan, dan Prama akting seperti kesakitan.
Hening, hanya ada suara beberapa
kendaraan yang masih berlalu lalang di daerah Pasar. Aku dan Prama terlibat moment akward, dimana baik aku dan Prama
hanya memandang lurus kedepan jalan. Aku
sendiri juga bingung harus bagaimana, kalau ku jawab iya, bukankah itu terlalu
cepat? Maksudku, walaupun kita sudah dekat sejak lahir, tapi… arghh tapi jika aku jawab tidak, mana
mungkin aku menyakiti sahabatku sendiri? Sedang aku juga nyaman setiap
bersamanya. Oke baik, ini harus diputuskan dengan segera.
“Prama” panggilku, yang sukses membuat
Prama menatapku, begitu juga aku.
“Aku nggak tau harus jawab apa. tapi
boleh nggak aku minta waktu?”
“Sure!
Asal sampai kapan pun waktunya, kamu nggak boleh jawab enggak. Gimana? Deal?”
“Itu sama aja jawabannya iya dong?”
rengekku tak terima.
“Ya memang jawabannya harus iya.
Memangnya mau apalagi? Kamu harus sembuh, dan obatnya hanya aku” imbuh Prama
penuh percaya diri sembari mencolok pipiku dengan terlunjuknya.
“Jangan kepedean kaya gitu. Lag—“
“Ah cewek kebanyakan drama. Bilang yes aja lama banget” gerutunya sembari
mencengkram setir kemudi.
“Yaudah
deal!” tutupku, mata Prama berbinar
kegirangan.
“Yah,
tapi aku nggak bawa cincinnya sekarang Dri. Besok saja ya di Hutan Pinus”
“Nggak
usah pakai cincin, nanti saja kalau aku sudah jawab yes. Sekarang kan aku butuh waktu dulu” kataku meledeknya.
“Ya
kan tadi aku udah bilang, selama apa pun waktunya akan aku kasih tapi kamu
nggak boleh jawab enggak, itu berarti kamu menerima lamaranku. Gimana sih?!”
keluhnya mulai kesal, dan aku hanya tertawa saja melihat tingkah lakunya.
Dan
pada akhirnya, Ganendra Pramadana adalah rumah yang selama ini aku cari. Rumah
yang bukan hanya ilusi semata, tapi memang nyata adanya. Rumah yang melindungi
dari dinginnya hujan dan panasnya matahari. Rumah yang akan selalu menjadi
pusat ketenangan dan kebahagiaanku di hari-hari berikutnya.
Dan untuk Rajendra Anangga, terima
kasih sudah memberikanku tempat singgah. Karena bagaimana pun, tanpamu aku
takkan pernah tau arah kemana harus melangkah. Meski kini tujuan kita sudah berbeda,
aku tak lagi menyalahkanmu atau diriku sendiri. Sebab, perihal ditinggalkan
atau meninggalkan memang tidak bisa dibenarkan, tapi jalan hidup setiap insan
bukankah sudah ditakdirkan?
Jadi, biarlah kenangan yang
mengisi ruang memori kita. Tanpanya, aku dan kamu takkan pernah jadi dewasa.
Sekali lagi, terima kasih ya, karenamu aku mengerti apa arti pulang
sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar