Langsung ke konten utama

#CERITAKU, Yogyakarta (bagian satu)

 

Yogyakarta. Kota yang terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan kata Joko Pinurbo. Aneh memang, tapi itu benar adanya. Aku contoh nyata yang merasakannya. Mantra apa, entah yang istimewa seperti penggalan lagu Adhitia Sofyan tersebut, Jogja memang selalu memiliki mantra yang istimewa, untukku khususnya. Jogja bukan hanya memintaku untukku singgah, tapi selalu memberiku celah untuk pulang bahkan menetap di dalamnya.

Tahun lalu, Februari 2019 lebih tepatnya. Ditengah rasa kehilangan seorang teman baik untuk selama-lamanya, Allah SWT mengizinkanku mewujudkan salah satu mimpiku untuk bisa berkunjung ke kota Jogja untuk pertama kalinya! Iya, pertama kali! Meski aku asli dari suku jawa, tapi ke Jogja baru saat itu bisa kukunjungi. Kala itu, aku yang tengah merasakan kehilangan dibuat senang oleh takdir yang diberikan-Nya. Bermodalkan nekat dan tabungan seadanya, aku dan sepupuku berangkat. Berhubung sepupuku seorang karyawan swasta yang memiliki libur sabtu dan minggu, kami memutuskan berangkat jumat sore dengan bus, dan kembali ke Bekasi (domisili) minggu sore dengan kereta. Ini benar-benar perjalanan gila sih menurutku!

Sabtu, pukul 04.00 pagi dini hari, kami sampai di terminal Giwangan. Langit masih sangat gelap saat itu, bahkan adzan subuh baru berkumandang 20 menit setelahnya, kami memutuskan untuk bersih-bersih (tanpa mandi) terlebih dahulu. Berhubung ini perjalanan bacpakeran yang super nekat, kami tidak memiliki itinerary, atau mungkin terlalu banyak itinerary tapi budget tidak mencukupi, hahaha. Setelah mengisi perut dengan semangkuk indomie juga teh manis hangat, aku dan sepupuku ini memutuskan untuk berjalan-jalan saja dulu di Malioboro, namun setelah dipikir ulang di dalam Bus Transjogja, untuk apa pagi-pagi ke Malioboro dengan membawa tas ransel yang cukup berat ini? apalagi penginapan baru bisa disinggahi pukul 12.00 siang. Oke, aku dan sepupuku kembali memutar otak lagi, kemana kita harus pergi. Setelah penumpang yang turun dan  naik silih berganti beberapa kali, kami memutuskan untuk ke Candi Prambanan yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya.

Sunrise di Halte Transjogja

 Kala itu pukul 08.00 pagi, Candi Prambanan masih sepi. Sangat sepi malah, kami adalah orang pertama yang memasuki Candi Prambanan, sebelum akhirnya beberapa rombongan adik-adik sekolah dasar dan rombongan pengajian ibu-ibu menyusul kami memasuki Candi. Akhirnya, aku di Jogja! Aku bisa ke Jogja! Ahhhh, senangnya ucapku saat itu, begitu tiba di depan Candi yang masih sepi, sepupuku hanya menggelengkan kepala dan mengiyakan saja apa-apa yang kuucapkan. Mungkin tingkahku terkesan kampungan, tapi itulah kenyataanya. Aku bahkan tidak lelah berjalan kaki memutari Candi, melihat betapa hebatnya peninggalan sejarah ini. Saat lelah tercetak jelas di wajah sepupuku ini, aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang bisa digunakan rehat sejenak, dalam keheningan yang tercipta juga terpaan angina sepoi-sepoi yang melambai, kami tenggelam dengan pikiran masing-masing. Aku dengan rasa syukur yang tak terkendali, juga sepupuku yang mungkin memikirkan kapan jodohnya sampai untuk meminangnya, hahahaha. Bercanda ya Jo!

Pintu masuk Candi Prambanan
ceritanya sun kissed me hehe
Gagahnya Candi Prambanan

Puas, atau lebih tepatnya sepupuku lelah memutari Candi, kami memutuskan untuk bergegas menuju penginapan, dan lagi-lagi kami harus dilanda kebingungan. Bingung bagaimana caranya kami bisa sampai di Halte Transjogja tanpa harus jalan kaki. Ya, menurut perkiraanku dari pintu keluar Candi, kami harus berjalan kaki sekitar 1-2 kilometer untuk bisa kembali sampai lagi di Halte. Kalau pagi tadi sih, karena kami belum pernah kesini sebelumnya, juga iming-iming tukang ojek yang katanya jauh, kami memutuskan untuk naik ojek, lalu sekarang? Apakah kami harus naik ojek lagi? mengeluarkan biaya Rp 10.000 lagi? ohhhh, jelas tidak pemirsa! Bisa habis uang kami hanya untuk kendaraan wara-wiri wkwkw. Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada juga semangat yang dipaksa membara, kami memutuskan berjalan kaki, meski harus menahan cukup berat ransel yang kami gendong, juga masing-masing totebag  yang kami tenteng. Wihh, keren ya jadi bacpaker. Bacpaker gadungan maksudnya hahaha.

Sepupuku, yang berhasil kupotret setelah beberapa kali take wkwk.

Ransel, slingbag, juga totebag (isinya ketebalan jaket) yang kubawa.

Selama perjalanan menuju penginapan, aku juga sepupuku bergantian duduk dan berdiri di dalam Bus. Aku menatap aktivitas yang terjadi di dalam Bus, sesekali kutatap pula tas ranselku yang kuletakkan dibawah kakiku, ya sebagai manusia hanya berjaga-jaga untuk mencegah tindakan kriminalitas di tempat umum bukan?. Kukira perjalanan dari Candi menuju penginapan hanya sebentar, atau paling lama 1 jam seperti saat berangkat tadi, dugaanku ternyata salah, perjalanan menuju penginapan cukup memakan waktu lama. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama itu, juga sempat menyasar salah turun halte, kami sampai di penginapan pukul 14.00 waktu setempat. Sesampainya masuk ke dalam kamar, kami berdua langsung merebahkan diri diatas kasur, menikmati dinginnya kipas angin yang terasa seperti AC.

Penginapan dengan kipas angin yang sedingin AC

Tak ingin membuang-buang waktu, selepas ashar kami bergegas menuju Malioboro—tempat yang paling kuinginkan untuk dijajaki. Lagi-lagi kami dibuat bingung. (ya namanya juga backpacker gadungan tidak ada tujuan yang tersusun rapi didalamnya)  Bingung memutuskan untuk berjalan kaki atau naik Transjogja lagi atau naik ojek online? Setelah menimbang keadaan kaki yang ternyata masih sakit, juga melihat letak posisi Malioboro melalui maps, kami memutuskan untuk mengeluarkan biaya Rp 10.000 naik ojek online, dan tau apa yang terjadi? Ternyata Malioboro tidak jauh seperti yang kukira, hahahaha sudahlah jangan disesali lagi, anggap saja berbagi rezeki pada pengemudi ojol.

Sampai di Malioboro, lagi-lagi aku dibuat kagum juga terharu akhirnya bisa sampai disini. Aku dan sepupuku berjalan beriringan mengikuti saja langkah kaki kemana akan tertuju. Mataku tak pernah lepas memperhatikan kejadian nyata yang terjadi, delman Malioboro yang gagah, becak motor yang modern, atau bahkan becak tradisional yang masih beroperasi, juga Bus Transjogja yang berlalu lalang di jalanan ini membuatku benar-benar tidak percaya, bagaiman bisa Malioboro yang sebelumnya hanya bisa kulihat di televisi, kini bisa kunikmati kesederhanaan juga kenyamanannya. Ditengah perjalanan, aku melihat orang-orang berkerumun untuk menikmati alunan musik tradisional angklung yang tetap terlihat modern juga keren. Aku ikut menonton pertunjukkan tersebut, sebelum akhirnya melanjutkan jalan menuju tempat dimana papan jalan bertuliskan ‘Jalan Malioboro’ berada, yang mana tempat tersebut selalu menjadi spot foto sejuta umat yang berkunjung ke Jogja. Tak apa, namanya juga baru pertama kali, lagi pula mumpung sudah disini tidak afdhol bukan jika tidak dikunjungi, hehehe.

Mimpi terwujud check, hahaha

Dari tempat dimana papan jalan tersebut berada, aku memaksa sepupuku yang terlihat—sebetulnya sudah— lelah untuk kembali melanjutkan langkah kaki menjelajahi Malioboro, dan tanpa disangka, kini kami sampai di titik ujung lain Malioboro. Yaps! Nol Kilometer Jogja. Ahhhh, senang sekali! Selain papan jalan bertuliskan Malioboro tadi, sebetulnya Nol Kilometer juga jadi salah satu mimpiku untuk bisa kesini, dan tanpa direncanakan hanya mengikuti naluri langkah kaki melangkah, akhirnya kami tiba disini! Padahal lagi-lagi Nol Kilometer Jogja hanyalah sebuah perempatan jalan, yang sisi jalannya terdapat banyak kursi-kursi—yang sepertinya terbuat dari semen—diperuntukkan untuk duduk para wisatawan. Ah, tidak lupa! Ada satu papan petunjuk arah yang hits disini, yang juga menjadi primadona spot foto para wisatawan.

Mimpi terwujud lagi check, wkkw
Wefie, detik-detik sepupuku bete haha.
Sepupuku selfie, sudah bete kelelahan menurutiku. Mian Jo!

Melihat malam yang semakin larut, juga wajah sepupuku yang semakin kusut, aku memaksakan diri—padahal masih betah—kembali ke penginapan, tentunya setelah kami—aku—berswafoto di Nol Kilometer, hehehe. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, kami teringat bahwa belum makan lagi sejak sampai di penginapan siang tadi. Sambil terus berjalan mengikuti kemana langkah kaki pergi, di tengah perjalanan kami menjumpai sebuah angkringan sederhana yang saat kami datangi masih sepi, aku yang sangat lapar saat itu, dan begitu memimpikan makan di angkringan Jogja-nya langsung begitu bersemangat mengambil menu-menu yang tersaji, aku mengambil lumayan banyak dan sama sekali tidak memikirkan akan mengeluarkan berapa rupiah untuk semua ini. Setelah kenyang perut kami terisi, tanpa disangka aku hanya mengeluarkan uang sebanyak Rp 7.500 untuk semua pesananku, ini gila! Aku masih tidak percaya, bagaimana bisa makanan sebanyak itu, kubayar semurah ini?! akhirnya untuk kedua kali, aku kembali menanyakan berapa total yang harus kubayar, dan benar, Bapak penjual angkringan tersebut tetap menyebutkan nominal yang sama saat aku tanya pertama kali tadi. Oiya, sepupuku sendiri membayar Rp 12.500 untuk semua pesanannya, dia pun sama tidak percayanya sepertiku.

Malam itu, dekat Nol Kilometer Jogja

Setelah semuanya beres, sisa perjalanan kami habiskan dengan mengobrol banyak hal apa-apa yang terjadi di Malioboro hari ini, terutama sih tentang ketidakpercayaan kami yang makan lumayan banyak dan hanya merogoh kocek tak sampai Rp 15.000. Semesta benar-benar luar biasa baiknya pada kami hari itu, kalau di Jakarta sih, Rp 7.500 palingan hanya dapat membeli sebotol teh puc**k harum ya kan? Hahahah. Sudah dulu, moment bagian satu Yogyakarta kali ini, semoga aku tidak malas melanjutkan bagian duanya ya hihihi.


-          Bersambung -

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

#CERPEN, Jogja dan Kenangan serta Apa Arti Pulang

            Awan hitam berkumpul pada langit Jakarta dini hari. Aku berjalan menyusuri lorong Stasiun Pasar Senen menuju percetakan tiket boarding pass. Setelah drama yang panjang, akhirnya aku bisa mengambil cuti. Menjadi kacung di Jakarta sejatinya bukanlah sebuah impian tapi kini menjadi pilihan yang dijalankan.             Persiapan keberangkatan Kereta Bengawan dengan tujuan akhir Stasiun Wonosari akan diberangkatkan pukul 06.00 WIB.             Intruksi petugas membuatku bangkit dari kursi tunggu, ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku, pukul 05.40 artinya masih ada waktu 20 menit lagi sebelum keberangkatan. Aku memasuki Gate 3 menyerahkan tiket juga kartu identitas disusul mencari gerbong kereta 6 seat 3D, tepat disamping jendela. Spot favoritku.       ...

#CERITAKU, Kesalahan untuk Pengalaman

Seperti biasa jika ada waktu senggang, setiap hari minggu gue usahain untuk ikut kajian di daerah kota tempat tinggal gue sendiri, ya Bekasi. Hari ini gue ikut 2 kajian sekaligus dengan pemateri dan materi yang berbeda namun di tempat yang sama, tapi hari ini menurut gue hetic banget selain emang udah niat buat datang kajian, gue dapat kabar kalo gue lolos seleksi interview buat jadi komite salah satu komunitas hijab di Bekasi, jangan ditanya rasanya gimana, udah pasti gue seneng banget tapi disisi lain gue ngga mau menyia-nyiakan ilmu yang akan gue dapat dari 2 kajian ini. Okay gue puter otak berusaha buat manage waktu gimana pun caranya semuanya harus bisa terlaksana. Oke paginya gue usahain sebelum berangkat kajian, tugas rumah harus udah beres. Oke mungkin kalian bingung dimana letak heticnya . Gue ceritain nih tepat pukul 08.30 gue udah rapi, gue coba hubungi temen gue yang mau berangkat bareng, gue whatsapp ngga deliv , gue telpon ngga diangkat, bingung kan pasti jad...

#HANYA SUDUT PANDANG, Antara cita-cita dan Realita

Cita-cita? Bisa dibilang juga keinginan, apa yang kita inginkan dimasa depan. Gue rasa kalian pernah punya ekspetasi terhadap satu hal tapi realitanya berbanding terbalik dari itu. Gue pun sama, sering mengalami kejadian yang menurut gue itu pahit diawal manis diakhir. Ya begitulah pendapat gue. Sejak lulus SMK Juli 2017 lalu, entah apa yang membuat gue jadi suka membaca dan menulis, memang sih bukan bacaan pelajaran atau tulisan yang penting tapi itu cukup buat gue ngerasa kaya terhibur banget. Bisa dibilang setelah lulus SMK tahun lalu, gue nganggur 3 bulan sambil nunggu masuknya kuliah, ya selama 3 bulan itu juga kerjaan gue cuma ya beres-beres rumah, main sana-sini nggak berfaedah yang sampai akhirnya gue juga gatau gimana awalnya gue suka sama aplikasi wattpad , setelah itu gue jadi suka baca dan terbesit dalam benak, kenapa gue nggak coba menyuguhkan cerita seperti mereka? Awalnya gue berpikir, ah mana bisa gue, punya niatan baca aja udah bagus, ini malak sok-sok an buat cerit...