Malam semakin larut,
perasaan dalam diriku terasa kalut. Esok, adalah hari yang sejujurnya tak ingin
kujumpai, atau ralat jika bisa ditunda barang sehari. Aku terus bertanya pada
diriku sendiri, sebetulnya ada apa dengan
Jogja? Mengapa begitu erat sekali kau mendambakannya? Entahlah, berulang
kali kucari jawaban atas pertanyaan itu, bukannya mendapatkan aku justru
semakin tersesat.
Malam itu, tentu dengan
perasaan senang aku dan sepupuku kembali mengulas perjalanan kami hari ini,
yang mana begitu banyak mengeluarkan energi tetapi bergitu memberi arti. Sesaat
setelah ditinggal sepupuku lebih dulu membersihkan diri, aku kembali merebahkan
tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit kamar yang esok hari harus
kutinggalkan, lampunya begitu terang, seterang keinginanku untuk berjanji aku pasti kembali lagi, kesini, ke Jogja.
Pagi itu—tepatnya pukul
10.00, aku dan sepuppuku yang baru saja terbangun hanya menatap langit-langit
kamar penginapan. Entah apa yang sedang dipikirkan sepupuku itu, apakah ia
sebetulnya sangat kesal kepadaku, sebab seharian kemarin kuseret kesana kemari,
tapi tidak enak berbicara ;langsung kepadaku atau entahlah, hahaha. Cukup lama,
kami hanya saling diam, sebelum akhirnya saling mengangetkan, karena waktu
terus berlalu, sedang kami harus check
out dari penginapan pukul 12.00 siang ini, meski sebetulnya keberangkatan
kereta masih petang nanti—pukul 17.30 mantap!
Masih tersisa lima jam lagi, tebak kami akan kemana? Enggak tau! Hahaha.
Usai keluar dari
penginapan, tentu dengan menggendong ransel masin-masing di punggung, serta
menenteng totebag, kami kembali berjalan
kaki menyusuri Malioboro. Jalanan siang ini terlihat sepi, di bawah matahari
yang cukup terik, kami terus berjalan entah kemana tujuannya. Akhirnya setelah
mampir sebentar ke minimarket terdekat
untuk membeli minum juga camilan, kami memilih masjid dekat dengan kelurahan
atau tidak salah kecamatan setempat, sebagai tempat persinggahan kami sebelum
akhirnya kembali pulang ke Bekasi. Tidak banyak yang dilakukan hari itu, selama
menunggu berlaluny waktu, sesekali kami mengobrol, memainkan ponsel, bahkan
yang lebih sering melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sambil
membatin kapan ya waktu keberangkatan
tiba? Hahaha.
Untuk kedua kalinya
semenjak berada di masjid ini, kami kembali mendengar adzan berkumandang dengan
merdu. Setelah menunaikan shalat ashar, kami memutuskan untuk keluar masjid,
dan tentu kembali menyusuri jalan Malioboro—yang kini mulai ramai dipadati
penjual serta pembelinya. Sebelum beranjak menuju stasiun Tugu, kami berbelanja
makanan khas Jogja sebagai buah tangan untuk keluarga di rumah, apalagi jika
bukan bakpia pathok. Puas
berkeliling, rasa haus di tenggorokan membuat langkah kaki menyambangi es cendol dawet. plis jangan joget ya! sebelum akhirnya kami
benar-benar pergi meninggalkan Malioboro—kota Jogja.
Gesekan rel kereta,
menjadi suara yang akan terus menemani delapan jam perjalanan pulang kami
menuju kota Bekasi. Pelan tapi pasti, mata sepupuku terpejam dengan sendirinya,
lain hal denganku, yang terus menatap jendela meski hanya hitam pekat, khas
warna malam yang terlihat. Aku menatap ke luar jendela dengan perasaan berkecamuk,
sebab, jujur saja aku ingin tinggal lebih lama, atau jika perlu aku ingin
menetap saja di kota pelajar ini. Berulang kali, tak pernah berhenti aku berdoa
bahwa semesta akan kembali mengizinkanku datang ke kota ini, tentu dengan waktu
yang lebih lama dengan perasaan yang berbeda. Jogja, percayalah aku pasti kembali kesini lagi. Tunggu aku ya! begitulah
kiranya doa sederhana yang selalu kuucapkan bahkan sampai saat ini.
Sedikit saran untuk
teman-teman yang hendak liburan ke Jogja, jangan hanya berdua ya. Sebab, selain
bisa meminimalisir pengeluaran, pergi beramai-ramai tentu akan lebih
menyenangkan, apalagi jika dengan sahabatmu. Oke? Semangat nabungnya ya! sampai
bertemu #ceritaku yang entah di Jogja lagi atau kota lain nanti. Terima kasih
sudah berkenan membaca pengalamanku, semoga bermanfaat dan semuanya sehat
selalu, Aamiin!





Komentar
Posting Komentar